JEJAKNORMAN – Hujan telah menghentikan laju sepeda motor tua saya saat melewati jalan raya yang menghubungkan Bitung dan Airmadidi, Minahasa Utara siang ini.
Rintik hujan tiba-tiba menyergap dan terpaksa saya harus menyingkir. Awan gelap menyapa. Agaknya hujan bakal panjang meretas.
Saya pun berteduh di sebuah kios sederhana yang menjajakan pisang hingga ubi. Tak hanya saya. Banyak juga pengendara sepeda motor yang juga menyepi dan berteduh.
Lama menunggu hujan reda. Saya tertegun melihat penjual pisang hingga ubi bete.
Seorang oma dengan tubuh agak gemuk dengan pakaian apa adanya. Saya pun tertarik berteduh lama dan membuka pembicaraan dengan ibu tua yang hampir separuh gigi depanya sudah tanggal dimakan usia.
“Saya Norman. Maaf boleh tahu nama oma,” tutur saya.
Ternyata oma agak kurang mendengar. Saya pun mendekat.
“Saya Oma Moni. Saya tinggal di Desa Tanggari,” ia mulai bercerita.
Sehari-hari Oma Moni berjualan pisang hingga ubi bete. Ia mengaku terpaksa mencari rupiah demi rupiah karena sang suami sudah tidak bisa berjalan lagi. Sepenuh sudah berada di tempat tidur. Lututnya sakit. Menyebabkan kaki sang suami tak kuat lagi.
“Saya sudah sepuluh tahun lebih berjualan di sini,” Oma Moni melanjutkan.
Sesekali perempuan yang lahir 70 tahun itu mengikat beberapa pisang yang putus dengan tapi rapihan.
Wajahnya sama sekali tidak mencerminkan kesusahan. Dia malah beberapa kali tersenyum ketika asyik saya ajak ngobrol.
Deretan gigi yang tanggal terlihat. Tetapi itu tak membuatnya malu. Ia malah senang diajak ngobrol.
Ketika saya tanya mulai jam berapa Oma Moni berdagang, dia mengaku sejak pukul 8 pagi sudah bebenah di kios sederhana yang sebenarnya adalah seperti halte jika pengendara sepeda motor berteduh.
“Cucu pertama saya yang antar saya ke sini pakai sepeda motor. Semua jualan juga dibawa pakai motor,” ujarnya lagi.
Soal untung, Oma Moni mengaku lumayan untuk melanjutkan hidup bersama sang suami yang hingga kini masih tergolek di tempat tidur.
“Kalau lagi ramai ya bisa di atas Rp300 ribu. Kalau sepi ya antara Rp100 ribu hingga Rp200 ribu,” katanya.
Barang jualan dia beli dari Pasar Airmadidi atau Pasar Sukur.
Apakah Oma Moni ikut merayakan Hari Kemerdekaan RI yang jatuh pada Minggu (17/8/2025), Oma Moni bilang dirinya bersama cucu keduanya ikut merayakan di desanya.
Ditanya soal makna Kemerdekaan, perempuan yang sudah beruban itu hanya menjawab singkat. Katanya, bagi dirinya yang penting masih bisa berjualan pisang hingga ubi bete.
“Itu saja sudah cukup bagi saya. Kalau barang dagangan saya laku, saya dan suami saya bisa hidup,” ia menambahkan.
Hujan sudah berhenti. Saya pamit untuk kembali meneruskan perjalanan. Sebelum sepeda motor saya nyalakan, dalam hati saya seperti ada yang berbisik untuk memberi beberapa lembaran rupiah ke Oma Moni.
Saya buka dompet dan tanpa melihat saya merogoh serta memberikan kepada Oma Moni. Dia menyambut tangan saya. Wajahnya membuang senyum. Saya pun senang.
Saya tak lupa izin untuk mengambil gambarnya. Ia tidak keberatan.
Perjalanan saya masih panjang. Tetapi saya bersyukur hujan tiba-tiba telah mempertemukan saya dengan Om Moni yang dengan kesederhanaan dan senyuman tetap berjuang demi sebuah kehidupan bersama sang suami.
Dalam hati, saya melambung doa aga Tuhan Sang Pencipta Jagad ini terus memelihara Oma Moni dan suaminya.
Saya pun pamit dan sepeda motor saya kembali menyeruak di antara jalan raya Airmadidi – Bitung.(NM)