Jejak Norman

Demi Sebuah Reportase Menginap di Lokasi Prostitusi Kramat Tunggak, Iman Kuat Imron ‘Berontak’

443
×

Demi Sebuah Reportase Menginap di Lokasi Prostitusi Kramat Tunggak, Iman Kuat Imron ‘Berontak’

Sebarkan artikel ini

Sumber Foto Ilustrasi: SINDOnews

Jejaknorman – SIAPA yang tidak kenal Lokalisasi Prostitusi Kramat Tunggak di Jakarta Utara?

Orang dulu apalagi lelaki hidung belang so pasti tahu liku-liuk “daerah maksiat” yang katanya terbesar nomor dua di Asia Tenggara setelah Kawasan Dolly, Surabaya, Jawa Timur.

Adalah Bang Ali (Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966-1977) yang membangun Lokalisasi Prostitusi Kramat Tunggak. Ketika itu Bang Ali gusar luar biasa karena istilah waktu itu “Kupu-kupu Malam” berkeliaran di sepanjang Jalan Kramat Raya dan Senen Jakarta Pusat.

Kebetulan Bang Ali, baru pulang dari Bangkok yang dikenal dengan industri esek-eseknya. Jawaban untuk masalah “Kupu-kupu Malam” itu adalah dilokalisir di suatu tempat. Maka kemudian dicarikan sebuah dearah untuk bisnis buang hajat kaum pria hidung belang itu.

Tak waktu lama akhirnya ditemukan di Kramat Tunggak di Jakarta Utara. Awalnya daerah ini masih rawa-rawa dan sangat jauh dari keramaian Ibu Kota Jakarta ketika itu. Lokasinya dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Bukan rahasia umum banyak pelaut yang singgah di pelabuhan itu dan ingin membuang “hajatnya” dan Kramat Tunggak jawaban yang paling pas untuk itu.

Sebagai jurnalis muda yang masih bau kencur. Tiba-tiba saja, saya ditugasi membuat sebuah reportase tentang Lokalisasi Prostitusi Kramat Tunggak tersebut. Parahnya lagi editor saya menyuruh saya untuk menginap satu minggu di salah satu rumah bordil di sana. Mati aku mah! Ngehek juga tuh editor. Tinggal seminggu di Kramat Tunggak? Nggak salah! Apa nggak kena penyakit “Raja Singa” alias GO?”

Katanya, biar laporan saya lebih mendalam. Jadi harus on the lokasi yang sesungguhnya. Bah! Dengan sedikit dongkol saya pun merapat ke “Pagar Seng” istilah untuk Lokalisasi Prostitusi Kramat Tunggak. Belakangan namanya berubah menjadi “Gedung Putih” karena pagar seng diubah lantaran dibuat tembok dicat putih.

Saya pun melobi ke sana-sini di sana. Sampai akhirnya saya bertemu dengan Bu Temu dan Pak Soeroso (orang biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Roso mantan marinir dari Surabaya). Dari Bu Temu dan Pak Roso inilah saya dapat persinggahan untuk menginap satu minggu di Kramat Tunggak. Saya pun menginap di Losmen Simanalagi 69, sebuah losmen yang katanya terbilang wah di masa itu.

Soal Bu Temu, belakangan saya tahu ternyata beliau (saya bilang beliau karena ternyata ibu tua renta ini germo tertua di sana). Katanya, Bu Temu ini kenal dekat dengan seorang wartawan senior yang akhirnya menjadi menteri. Ups untuk cerita ini hanya sebatas ini saja ya. Agak sensitif soalnya.

Saya diberi kamar yang hanya cukup untuk satu dipan. Di sana disediakan bantal kepala dan bantal guling. Serta obat nyamuk bakar yang dibakar untuk menjaga tubuh dari sengatan nyamuk.

Losmen Simanalagi 69 mempekerjakan 10-15 pekerja seks komersial (PSK). Mereka punya kamar sendiri untuk melayani para lelaki hidung belang. Kamarnya berukuran kecil dan di pojok dipan atau tempat tidur disediakan kran air dan ember yang katanya untuk memnbersihkan vagina usai melayani pelanggan.

“Mbak nggak pakai kondom? tanya saya.

Si mbak yang berkulit hitam manis dengan tubuh sintal serta rambut lurus panjang menjawab dengan enteng. Katanya, “Pelanggan nggak suka pakai kondom Mas.”

So lantas tanya saya lagi. “Ya langsung tancap saja Mas. Biasanya nggak lama itu pelanggan asal sudah keluar itunya ya langsung udahan,” kata si mbak tanpa malu.

Si mbak yang mengaku berasal dari Indramayu itu mengaku semalam bisa melayani hingga 5 pria hidung belang.

“Pernah ada rasa cinta mbak?” tanya saya lagi.

“Boro-boro Mas. Cinta dari Hong Kong. Tahi kucinglah! Mereka datang hanya mau gituan, mana ada cinta Mas. Ada uang ya ada gituan. Nggak ada ya maaf,” kata si mbak lagi.

Selama seminggu di Kramat Tunggak saya jadi tahu luar biasa soal prostitusi. Mulai dari mereka mandi keroyokan karena kamar mandinya los panjang tanpa pintu; hanya pakai gorden plastik dengan kran dijejer di atas kepala mereka. Ada juga yang mandi pakai ember.

Setiap Kamis pagi mereka berobat di klinik yang memang disediakan pengelola lokalisasi. Saya sempat kaget kalau ternyata setiap disuntik di klinik, para pekerja seks komersial itu tidak pakai celana dalam. Mereka antre ibarat antre membeli tiket bioskop zaman dulu. Begitu giliran disuntik, mereka tinggal angkat rok saja. Jus…jus akhirnya disuntik agar tak tertulis si “Raja Singa” alias GO. Saya mengenal salah satu dokter di sana. Namanya dokter Bertha. Kebetulan sang dokter juga aktif di bidang kesehatan pengurus Golkar DKI Jakarta.

Jujur saja selama seminggu meliput di Kramat Tunggak saya pakai celana tiga lapis. Ya celana dalam, lalu celana boxer dan terakhir celana bola. Hitung-hitung untuk menahan si “imron”. Karena jujur saja iman sih kuat tetapi “imron” berontak terus.(*)

width="120" height="600"/>
Jejak Norman

Dinamakan Cakalang Fufu karena proses pembuatan kuliner yang satu ini mengunakan teknik pengasapan. Cakalang Fufu atau ikan tongkol yang diasapi kemudian dibelah dua dan dijepit menggunakan kerangka batang bambu.