Foto ilustrasi pekerja seks komersial. Sumber: AFP
Jejaknorman – Mungkin karena dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara maka tidak salah jika wilayah di utara Ibu Kota ini bertebaran lokasi prostitusi.
Bukan rahasia umum jika banyak pelaut yang singgah di Pelabuhan Tanjung Priok oleh pengojek sepeda motor (dulu belum ada ojek online) diantar ke lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak, Jakarta Utara.
Padahal belum tentu niat pelaut asing itu ingin membuang ‘hajat’ di lokalisasi prostitusi itu. Mungkin hanya ingin sekadar ngebir serta menikmati alunan musik. Tetapi, pengojek sepeda motor itulah yang tancap gas mengantar para pelaut itu untuk menghabiskan malam di sana. Sambil menyelam, buang ‘hajat’ juga. Mungkin begitu!
Maraknya lokasi prostitusi di wilayah Jakarta Utara itu mengantar saya membuat reportase sejumlah lokasi prostitusi tersebut di samping lokasi resmi di Kramat Tunggak yang juga dijuluki ‘pagar seng’. Kemudian menjadi ‘tembok putih’ karena lokasi itu dipagari dengan tembok warna putih.
Saya mengawali tugas dengan menginap satu minggu di lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak.
Usai dari sana, saya pun kemudian melanjutkan reportase ke lokalisasi ilegal di daerah Rawa Malang, Cilincing dekat Kaliitam. Lokasinya tidak jauh dari daerah Sarang Bangau yang dulu merupakan wilayah gudang peluru. Di wilayah Cilincing terdapat banyak kompleks militer. Mulai dari Dewa Ruci hingga Dewa Kembar serta Perumahan karyawan Astra Gaya Motor.
Kunjungan saya ke Rawa Malang atau biasa petugas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) Jakarta Utara menyebut sebagai istilah ‘Rembang Medan’, saya lakukan pada malam minggu karena di saat itulah keramaian terjadi. Banyak lelaki hidung belang yang datang ke sana.
Waktu yang ditunggu pun tiba. Kebetulan rumah saya juga berada di wilayah Jakarta Utara sehingga tidak butuh waktu lama untuk menjangkau lokasi prostitusi ilegal Rawa Malang.
Sepeda motor sudah saya siapkan sejak siang hari. Oli motor sudah saya ganti. Saya pun sudah menyiapkan jaket serta peralatan seperlunya untuk memulai reportase ‘esek-esek’ ini.
Saya punya kebiasaan usai mengunjungi lokasi ‘begituan’, pakaian yang saya kenakan, saya bakar. Percaya atau tidak. Kata teman saya untuk buang sial hahahahahaha. Untuk kali ini saya aminkan saran teman saya itu. Padahal jujur saja: rugi bandar lho bakar-bakar pakaian, celana jins serta jaket!
Jam menunjukkan pukul 22 malam. Saya pun meluncur ke lokasi Rawa Malang. Saya mengambil jalan melalui Jalan Raya Cilincing. Lurus ke arah Tepekong (sebuah vihara tua di daerah Cilincing) lalu melewati jalan bersebelahan dengan Kaliitam Cilincing. Tidak butuh waktu lama, saya pun tiba di lokasi prostitusi Rawa Malang.
Tiba di sana, hingar-bingar alunan suara musik seakan berpacu dengan waktu yang semakin pekat. Saya tidak tahu dari mana aliran listrik masuk ke daerah tersebut. Yang pasti lampu menyala di sana.
Angin malam pantai Marunda mulai menusuk tubuh. Rumah semi permanen menghiasi daerah Rawa Malang. WC ‘helikopter’ berada di sepanjang Kaliitem. Para pekerja seks komersial (PSK) itu mandi dan buang hajat di WC ‘helikopter’ yang terbuat dari bambu dan gedek itu. Saya bingung dan seakan tak percaya lokasi rada jauh dari bersih ini masih dikunjungi para lelaki hidung belang. Kayanya kebanyakan sopir.
Saya memarkir sepeda motor dan mulai menyambangi salah rumah bordil di sana. Tempatnya tidak terlalu terang. Bisa disebut remang-remang. Karena hanya dua-tiga lampu yang tidak lebih dari 5-10 watt saja.
“Masuk mas,” tiba-tiba seorang perempun menyambut saya. Wajahnya tidak terlalu cantik tetapi tubuhnya lumayan untuk ukuran perempuan yang tidak muda lagi. Dugaan saya sudah berusia kepala tiga. Bedak yang digunakan ala kadarnya saja. Ia mengenakan celana jins agak ketat dengan baju tank top.
Saya pun masuk. Di ruangan itu terhampar beberapa meja. Saya memilih meja yang agak menjorok ke belakang yang pas untuk kami ngobrol. Ruangannya mirip seperti ruang tamu dan di depan ruangan itu ada beberapa kamar. Di rumah bordil yang saya singgahi hanya terdapat dua kamar. Kamar itu tidak berpintu hanya gorden. Jika ada pria hidung belang yang sedang ‘bermain’ maka lampu di kamar itu dimatikan. Sehingga orang tahu bahwa di kamar itu sedang ada yang buang ‘hajat’.
“Mas baru ke sini ya,” tanya perempuan yang menemani saya itu.
“Iya,” jawab saya.
Tak lama kemudian, dia pamit pergi sebentar. Saya tahu dia pasti datang membawa bir. Dugaan saya benar. Tidak butuh waktu lama, perempuan yang belakangan mengaku bernama Neneng itu datang membawa tujuh botor angker bir.
Dengan lihainya dia pandai membuka tutup botol bir. Dia lalu menyodorkan gelas dan menuangkannya. Saya pun mulai menegak bir tersebut. Obrolan ikut menemani kami berdua minum.
Neneng bercerita bagaimana dia sampai ke lokalisasi kumuh dan miskin ini. Dia mengaku dari Indramayu. Semula dia merantau ingin menjadi pembantu. Ternyata, sebulan menjadi pembantu, sang majikan pria memperkosanya. Ia menangis besar. Hidupnya telah hancur. Masa depannya remuk.
Singkat cerita: Neneng pun diusir. Di tengah ketidak-pastian itulah, dia bertemu dengan Diah, rekan dari kampung yang ternyata sudah lebih dulu menjadi ‘kupu-kupu malam’ di Rawa Malang. Rekannya itu sudah agak tua sehingga terlempar dari lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak.
Dari Nenenglah, akhirnya saya tahu apa yang kemudian saya sebut sebagai ‘segi tiga’ pelacuran di wilayah Jakarta Utara.
‘Segi Tiga’ itu meliputi kawasan lokalisasi Pulo Bunder di Kalibaru. Di sana biasanya perempuan yang masih belia dan belajar menjadi ‘kupu-kupu malam’.
Istilahnya proses magang sebagai PSK terjadi di sana. Setelah ‘pandai’ dan usia bertambah, mereka kemudian mengadu nasib ke lokalisasi resmi Kramat Tunggak. Di sinilah, masa kejayaan sebagai PSK terjadi. Mereka bergelimpangan harta dan bisa membawa buah tangan banyak saat lebaran. Apalagi jika wajah cantik, bodi yahud dan pandai ‘bermain’ di ranjang. Bisa kaya dia! Bahkan, bisa membangun rumah di kampung. Maklum di Kramat Tunggak banyak pelanggan yang pelaut asing. Mereka sangat boros menghamburkan rupiah demi rupiah.
Setelah tidak layak ‘jual’ lagi maka mereka akan singgah di tempat terakhir di Rawa Malang. Di tempat inilah, ‘kupu-kupu malam’ sebentar lagi mengakhiri perjalanan panjang hidupnya sebagai PSK buangan. Pelanggan mulai meninggalkan mereka. Rupiah yang didapat pun mulai berkurang dan hanya terbantu dari penjualan botol per botol yang disuguhkan kepada pelanggan.
Neneng membuka semua cerita itu. Bisa jadi dia ingin bersih di akhir usianya. Ia ingin menorehkan tinta emas di perjalanan hidupnya. Setidaknya dia sudah mencoba dan Tuhan maha tahu segalanya.
“Mas nggak mau mencoba tubuh saya,” tiba-tiba Neneng meluncurkan kalimat itu. Saya pun mengelak. Saya bilang hanya ingin ditemani untuk ngebir saja. Dengan alasan pikiran lagi semrawut, saya mampir ke Rawa Malang. Neneng tidak marah. Ia hanya memegang tangan saya dan berbisik agar diberi rupiah agak banyak sebelum pulang. Saya menganggukkan kepala.
“Tenang saja mbak. Aman kok,” bisik saya di telinganya. Dia tersenyum. Wajahnya terlihat senang. Neneng lalu menuangkan bir ke gelas saya. Ternyata sudah hampir 10 botol lebih kami minum berdua.
Kami tertawa seakan mencoba menyaingi alunan musik di luar sana. Dia menarik dalam-dalam rokoknya. Asap keluar dari mulutnya. Seakan membuang keluh-kesah dan perasaan hatinya yang saya tebak sebenarnya muak dengan dunia yang dijalaninya itu. Dunia berkelimpangan dosa dan dosa.
Tanpa terasa malam sudah begitu pekat. Saya lihat di jam tangan waktu sudah hampir pukul 3 dini hari. Saya pun pamit. Neneng sempat menahan. Saya bilang bahwa besok saya ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya pun menemui “sang mami”. Lembaran uang pun saya selipkan di tangan ‘Sang Mami’. ‘Sang Mami’ yang sudah berusia kepala lima itu pun tersenyum.
“Sering-sering mampir ke mari ya mas,” katanya sambil mengisap dalam-dalam rokok Dji Sam Soe-nya.
“Tenang saja Mami,” jawab saya.
Saya lalu balik ke Neneng dan tidak lupa lembaran rupiah saya selipkan di tangannya. Ia sedikit melihat lembaran rupiah itu. Saya kasih agak banyak. Bagi saya: tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah!
Neneng memeluk tubuh saya erat-erat. Dia sempat berbisik dalam-dalam. “Kalau ke sini temui Neneng ya Mas.”
Saya bergegas meninggalkan rumah bordil itu. Alunan musik mulai mereda perlahan. Udara dingin begitu kuat. Saya rapatkan jaket dan slayer di leher. Kunci kontak motor pun siap. Tak berapa kemudian suara motor pun menderu.
Saya menoleh ke rumah bordil itu. Neneng masih berdiri di pintu. Ia melambaikan tangan. Saya melempar senyum dan kami pun berpisah.
Di sepanjang jalan saya terdiam. Sulit bagi saya membayangkan perjalanan hidup seorang Neneng yang dari kampung halaman merantau ke Jakarta untuk mengubah nasib walau hanya menjadi pembantu rumah tangga. Tetapi pemerkosaan yang dialaminya dan pertemuan dengan teman sekampungnya yang ternyata PSK mengubah jalan hidupnya. Ia bergaul dengan dunia maksiat yang sebenarnya dibencinya. Tapi hidup memang seperti roda yang terus berputar dan Neneng harus hidup. Dia tidak ingin tergilas roda kehidupan itu.
Begitu akhir cerita ‘Segi Tiga’ pelacuran di wilayah Jakarta Utara. Dan Neneng berada di satu sisi ‘Segi Tiga’ itu dan itu pun yang terakhir karena masa kejayaannya telah sirna di Lokalisasi Prostitusi Kramat Tunggak. Bisa jadi setelah itu maut telah menantinya tanpa seorang pun yang tahu! Yang pasti itulah secuil geliat kehidupan di utara Jakarta. Miris memang!(*)